Langsung ke konten utama

Filter Bubble: Bagian tersembunyi dari Sosial Media


Filter Bubble, pertama kali diperkenalkan oleh seorang aktivis internet terkemuka bernama Eli Pariser.
“Sebuah dunia yang dibangun dari kesamaan (familiar), adalah tempat kita tak bisa belajar apa pun” katanya seperti dikutip dari The Economist.
Istilah ini menurut informasi dari beberapa sumber artinya adalah sebuah kondisi hasil dari perkiraan, formula, algoritma dan penyaringan pada sebuah situs, yang akan menebak informasi apa yang pengguna ingin lihat, berdasarkan informasi tentang pengguna (seperti lokasi, riwayat klik, riwayat like, pertukaran komentar dan riwayat pencarian), sebagai hasilnya, pengguna menjadi terpisah dari informasi yang tidak selaras dengan sudut pandang mereka, sehingga mereka terkurung dalam gelembung mereka sendiri.
Diantaranya adalah hasil personalisasi pencarian Google dan aliran berita yang ada di beranda Facebook kita. Pengguna sosial media akan mendapatkan informasi yang lebih sedikit untuk sudut pandang yang bertentangan dengan sudut pandangnya dan terisolasi secara intelektual dalam gelembung informasi mereka sendiri.

Mari kita coba bahas untuk kasus Media sosial Facebook :
Bayangkan ada seorang LGBT, sebutlah Udin, yang sangat fanatik. Dan berita-berita mengenai LGBT sedang heboh di Facebook. Udin hanya like dan komentar status si Reda, Choki dan Amar yang suka dan Pro dengan LGBT. Berita-berita yang berkaitan dengan Mendukung LGBT dan sependapat dengan pikirannya selalu Udin bagikan. Setiap ada tautan dari media lain yang menurutnya tidak sepaham, Udin abaikan. Dan hal ini terus Udin lakukan selama beberapa waktu.
Karena algoritma Facebook memastikan yang muncul di beranda adalah dari teman-teman yang paling dekat dengan Udin (yang sering di like, yang sering di-share dan lain sebagainya), maka kemungkinan besar yang muncul di beranda Udin berikutnya adalah si Reda, Choki dan Amar serta berita-berita yang semuanya pro LGBT.
Kemudian, ada si Pandi yang sering mengkritik LGBT, walaupun berteman dengan Udin, Reda, Choki dan Amar. Statusnya Pandi mungkin jarang muncul di beranda si Udin. Mengapa seperti itu? Karena baik Reda, Choki dan Amar sama juga seperti Udin tidak pernah like atau komentar di status Pandi. Algoritma Facebook pun kemudian menyimpulkan bahwa Pandi adalah teman jauh dari mereka.
Akhirnya si Udin jadi sangat jarang menjumpai opini-opini yang berlawanan, membuatnya terisolasi di bubbles (gelembung-gelembung) ide dan keyakinan kelompoknya sendiri (Reda, Choki dan Amar). Ini lah yang kira-kira disebut dengan konsep filter bubble, diperkenalkan oleh Eli Pariser pada Tahun 2011.

Ini tentu karena tujuan utama dan fungsi algoritma Facebook adalah untuk memudahkan melacak data, dan memudahkan untuk mendapatkan informasi yang pengguna inginkan. Serta keberadaan algoritma juga mempermudah pengiklan menyasar pasarnya.
Media sosial yang lain dan mesin pencari juga melakukan hal yang sama. Lary Page, Chief Executive Google pernah bilang: "Mesin pencari utama akan mengerti dengan tepat apa yang Anda maksud dan mengembalikan apa yang Anda inginkan."
Eric Schmidt, Executive Chairman of Google, bahkan meramal suatu hari nanti orang-orang bisa bertanya kepada Google tentang perguruan tinggi mana yang harus mereka ajukan atau buku apa yang akan dibaca selanjutnya.

Eli Pariser, seorang aktivis internet, melihat ada kejanggalan yang berbahaya dari sistem algoritma. Algoritma akhirnya menciptakan sebuah "gelembung besar" yang membuat seseorang terisolasi secara intelektual.
Maksudnya, ketika seseorang tak pernah melihat sudut pandang berbeda dari orang lain, maka kemungkinan ia akan berlarut-larut dalam pandangannya sendiri. Hal itu dikhawatirkan akan membuatnya mendefinisikan dunia hanya dari satu sudut pandang saja.
Seperti seseorang yang dicekoki informasi tentang bahayanya pemikiran tertentu, maka ia akan mengingkari eksistensi gagasan lain. Sehingga terjadi kecenderungan terhadap satu pemikiran dan menimbulkan fanatik. Hal itu akan merujuk pada individu-individu yang merasa pemahamannya yang antikritik.
Selain itu, hal ini juga menciptakan efek konsensus yang salah. Akibat informasi seragam yang diperoleh, seseorang punya kecenderungan untuk mengklaim orang lain sepaham dengan dirinya, dan menyimpulkan pendapatnya adalah kesimpulan mayoritas. Padahal, di tempat lain, yang terjadi bisa saja berbeda.

Mostafa El-Bermawy dari Wired  bahkan menyebut Filter Bubble sebagai perusak demokrasi. “Konten di Facebook kita dipersonalisasi berdasarkan klik dan perilaku ‘likes’ di masa lalu, jadi otomatis kita akan kebanyakan mengonsumsi konten politik yang serupa dengan pandangan kita,” ungkap El-Bermawy.

Hal itulah yang akhirnya membuat kemenangan Donald Trump pada Pemilu Presiden Amerika Serikat 2016 terasa mengejutkan banyak orang. Internet membuat kita buta pada apa yang sebenarnya terjadi di kehidupan nyata.

Dampak buruk Filter Bubble semakin menjadi-jadi karena beberapa kebiasaan jelek warganet dan media. Misalnya, tabiat media yang menjual judul-judul bombastis. Sehingga muncul kebiasaan hanya membaca judul tanpa mengklik konten. Dilansir dari Tirto.ID, sebanyak 59 persen link berita yang dibagikan di media sosial tidak benar-benar diklik sama sekali dan tabiat mempercayai hoax yang kini sedang menjadi persoalan hangat di Indonesia.
Di Indonesia, empat dari tujuh orang aktif di media sosial. Sumber berita dan pengetahuan mereka datang dari sana. Masalahnya, tak semua pengguna social media tahu tentang algoritma ini termasuk di Facebook.

Facebook, media sosial dengan pengguna terbesar dunia hingga 2 miliar pengguna akhirnya merasa bertanggung jawab. Pada April tahun ini, mereka berinvestasi $14 juta sebagai usaha “untuk meningkatkan kepercayaan pada jurnalisme di seluruh dunia, dan membuat informasi lebih baik dalam percakapan publik.”

Tujuannya agar seseorang tak sembarangan menyebar konten yang dibacanya dari teman, setidaknya konten yang disebar adalah yang kredibel dan dapat dipercaya. Namun yang perlu diingat pula bahwa pengguna media sosial seperti Facebook dan lainnya, berada dalam gelembung filter yang selama ini tak kasat mata dan bisa membuat orang melihat hanya dengan "kacamata kuda".

Catatan Kaki :

Wikipedia
Aulia Adam - https://tirto.id/filter-bubble-sisi-gelap-algoritma-media-sosial-cwSU
https://www.lyceum.id/bahaya-filter-bubble-efek-dunia-maya/
https://www.kaskus.co.id/thread/58429f77de2cf225178b456b/fenomena-filter-bubble-effect-dan-apa-bahayanya/


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pasar Terapung Indonesia

Pasar Terapung atau Pasar Apung adalah sebutan untuk sarana jual beli yang terletak di atas perairan, misalnya sungai atau danau. Para penjual dan pembeli masing-masing berada di atas perahu-perahu. Ada sejumlah pasar terapung yang aktif beroperasi selama bertahun-tahun di Asia, antara lain di Indonesia dan Thailand. Di Indonesia, khususnya di Provinsi Kalimantan Selatan sendiri terdapat 3 Pasar terapung, yakni :  Pasar Muara Kuin Pasar Terapung Muara [Sungai] Kuin atau Pasar Terapung Sungai Barito adalah pasar terapung tradisional yang berada di atas sungai Barito di muara sungai Kuin, Banjarmasin Pasar Lok Baintan Pasar Terapung Lok Baintan atau Pasar Terapung Sungai Martapura adalah sebuah pasar terapung tradisional yang berlokasi di desa Sungai Pinang, kecamatan Sungai Tabuk, Banjar. Pasar Siring Piere Tendean Atau Pasar terapung Siring Sungai Martapura ini lokasi nya di tengah kota Banjarmasin, berdekatan dengan wisata Menara Pandang Banjarmasin dan wisat